Dalam 5-10 tahun lalu ketika era smartphone android booming, saya sempat membayangkan apakah prosesor berbasis ARM akan digunakan pada PC dan Laptop. Seperti yang kita tahu selama ini PC dan laptop menggunakan prosesor atau CPU berbasis X86. Hanya ada 3 produsen CPU ini yaitu Intel, AMD dan VIA. Nama yang terakhir mungkin jarang didengar karena productnya juga tidak beredar luas. Semua tech enthusiast selalu membandingkan antara Intel dan AMD karena 2 ini selalu kejar-kejaran hasil benchmark. Menyuguhkan hasil benchmark dan perfoma yang semakin meningkat setiap tahunnya.
Saat itu ARM lebih banyak dipakai diplatform mobile karena keunggulannya yang hemat energi. Segelintir orang mungkin bertanya, apakah CPU berbasis ARM itu bisa digunakan menggantikan intel dan AMD. Secara teknologi tentunya bisa terlebih OS Linux sudah dibuat untuk dapat digunakan di CPU ARM. Kemudian muncul single board computer yang cukup populer yaitu Raspberry Pi. Sebuah komputer seukuran kartu atm yang dapat melakukan pekerjaan ringan seperti office dan browsing. Perfoma CPU ARM ini pun banyak yang skeptis namun pengembangan untuk menjadi ARM ini selayaknya CPU x86 juga semakin massive. Pemain lain tentunya ingin juga berkompetisi dengan Intel dan AMD, apalagi dengan lisense ARM yang lebih terbuka sehingga siapa pun dapat membuat CPU ARM dengan membeli licensenya.
Ekosistem CPU ARM
Bicara CPU tentunya nggak akan dipakai banyak orang kalau softwarenya tidak ada. Ini adalah tantangan nyata dan serius untuk platform ARM berkembang. Microsoft yang sudah tidak fokus lagi menjual operating system dan fokus ke bisnis cloudnya mulai melihat pengembangan ARM ini. Mereka tidak bisa lagi menutup mata bahwa ARM punya potensi yang bagus. Setelah bisnis windows phone gagal microsoft akhirnya membuat windows berbasis ARM. Hadirnya windows berbasis ARM memunculkan pemain CPU ARM, Qualcomm mulai memproduksi CPU ARM untuk laptop. Perfomanya tentu di atas Raspberry PI dan makin lama beberapa aplikasi dibuat native untuk CPU ARM. Meskipun begitu emulator yang dibuat microsoft agar CPU ARM bisa menjalankan aplikasi X86 bisa dibilang ‘ampas’. Tidak banyak konsumen tertarik beli karena perfoma dan compatibilitasnya yang meragukan meskipun microsoft terus melakukan pengembangan ke arah ini.
Gebrakan Apple
Setelah disibukkan dengan Qualcomm dan Microsoft, Apple membuat gebrakan dengan langsung meluncur prosesor M1 mereka berbasis ARM di lini produk macintosh. Ini merupakan langkah gambling dan sangat berani. Tapi Apple punya perhitungan yang sangat matang untuk transisi ini. Dorongan Apple untuk menggunakan SOC berbasis ARM sebenarnya sudah bisa dilihat beberapa tahun ke belakang. Intel dianggap tidak lagi mampu mengimbangi design apple dalam membuat machintosh yang kita ketahui selalu tipis dan ringan. Filosofi design macintosh tentunya akan selalu dipegang apple untuk melanjutkan design produk-produknya.
Apple sudah melakukan riset yang bisa dibilang lama dalam mengembangkan produk berbasis CPU ARM di perangkat iPhone, iPad dan Apple Watch. Dimulai dari generasi A10, perfoma CPU buatan Apple banyak dibandingkan dengan intel dan AMD. Perfoma dari generasi ke generasi mengalami peningkatan yang signifikan dan pada generasi A12 bisa dikatakan perfomanya sudah dapat menyaingi prosesor intel generasi yang sama.
Dari generasi A12 kita bisa melihat bahwa tidak butuh waktu lama untuk apple membuat CPU sendiri bagi produk machintosh mereka. Hal yang sangat penting selain perfoma adalah kompatibilitasnya. Apple mungkin bisa membuat CPU dengan perfoma kencang dan hemat daya tetapi tanpa software kompatibilitas semuanya menjadi percuma
Rosetta 2
Kesulitan microsoft mengembangkan emulator X64 ke ARM bisa dibilang karena microsoft tidak ada experience. Apple sebelumnya pernah membuat hal serupa dengan nama Rosetta saat transformasi dari PowerPC ke Intel. Mengulangi hal serupa tentu hal yang mudah bagi Apple. Terlebih Apple menguasai ekosistem dari hardware sampai software. Partner developer juga pastinya akan mengikuti langkah apple dengan membuat aplikasi mereka support M1. Apple menyediakan semua tools bagi developer agar transisi ini berjalan dengan lancar.
Tugas apple setelah membuat CPU ARM di machintosh adalah menyakinkan penggunakan loyalnya untuk pindah ke CPU buatan mereka. Kuncinya adalah kompatibilitas dan peningkatan user experience. Konsumen apple mendapatkan macbook yang lebih tipis, tidak bising dan panas tapi perfomanya juga lebih bagus.
Berkat M1 Apple semakin untung
Beralihnya Apple ke M1 berarti apple menguasai ekosistem hardware dan software untuk semua lini productnya. Apple secara strategic juga berkolaborasi dengan produsen chipn untuk supply chain mereka sendiri tanpa bergantung pada intel. Machintosh akan berkembang tanpa limitasi dari prosesor intel. Hal ini secara tidak langsung membuat Apple semakin untung.
Intel Terlambat Berubah
Intel sepertinya terlalu nyaman dengan posisinya. Menganggap pesaingnya hanya AMD dan masih melihat CPU ARM terlalu jauh sebagai pesaing. Namun dengan mulainya Apple M1 dan Windows yang sudah membuka OS-nya agar dapat menggunakan CPU ARM posisi intel semakin tertekan. Kehadiran AMD Ryzen sudah cukup membuat intel kewalahan menghadapi market share yang digerogoti AMD.
Hilangnya Apple sebagai konsumen menciptakan market share baru di ranah CPU Desktop. Pemain lain seperti Qualcomm, samsung, Huawei, dll sedang berlomba membuat CPU ARM untuk desktop dan Laptop. Intel mungkin masih bisa bernapas sampai OS Windows akan benar-benar optimize untuk ARM.
Tekanan ini pun membuat intel membuka pabriknya agar dapat digunakan untuk produsen lain membuat prosesor ARM di Pabriknya. Roadmap intel yang masih gagal meninggalkan 10nm membuatnya semakin tertekan hingga plan B muncul.
Intel beralih ke Risc-V dan AMD ke ARM
Masih relevan dengan posisi X86 platform. Intel mulai memikirkan plan B untuk membuat CPU berbasis Risc-v dengan membeli perusahaan pengembang Risc-V, SiFive. Pembelian ini menjelaskan posisi intel untuk mulai mengembangkan platform CPU di luar X86. Risc-V sendiri sama seperti ARM hanya saja licensenya lebih open dibanding ARM yang licensenya di monopoli oleh ARM.
Pesaing intel yaitu AMD, sudah lama memulai pembuatan CPU Berbasis ARM untuk ranah server. Kemampuan AMD dalam mengembangkan CPU ARM bisa dibilang lebih advance dibanding intel. Ada rumor juga, samsung sebagai pembuatan CPU ARM bekerja sama dengan AMD dalam pembuatan CPU ARM dengan GPU Radeon. Bukan tidak mungkin ke depan AMD juga akan mengeluarkan CPU ARM mereka.
Windows OS sebegai kunci transformasi
Dukungan vendor besar terhadap ARM mau tidak mau membuat microsoft perlu segera merampungkan OS mereka agar dapat full optimize terhadap ARM. Microsoft sendiri sudah mengeluarkan Windows 11 versi ARM yang beberapa review menunjukkan hasil yang cukup bagus dibanding windows 10 arm. hanya saja kehadiran emulator X86-64 yang masih belum sempurna menjadikan transformasi ini masih terhambat.
Kehadiran Apple M1 membuat persaingan CPU X86 dan ARM untuk sektor desktop kembali memanas. Kompetisi ini akan mendorong windows segera mengadopsi ekosistem ARM. Mengingat aplikasi office mereka sudah support Apple M1 kelihatannya tidak lama lagi akan muncul banyak laptop dengan CPU ARM. Semakin banyak produsen CPU tentunya akan menciptakan kompetisi harga yang ujung-ujungnya dinikmati konsumen juga. Seperti smartphone yang saat ini sudah semakin murah dan terjangkau.
Minim upgrade
Apabila kedepan trend CPU ARM meningkat hal ini menimbulkan sebuah PC akan sangat minim untuk dilakukan upgrade. ARM cenderung menggabungkan CPU, Memory dan Storage dalam 1 Chip tau yang dikenal sebagai SOC. Cara ini umum dilakukan karena dengan komponen tersebut berada dalam 1 chip maka komunikasi antara komponen akan lebih cepat. Tentunya kerugiannya sebagai konsumen akan kesulitan untuk upgrade.
Selama ini kita memakai motherboard, CPU, ram dan Storgae yang terpisah dimana lebih mudah ke depan untuk upgrade tanpa harus mengganti secara keseluruhan.